Kamis, 29 Desember 2016

Ketersedian Air Bersih Cenderung Menipis Akibat Dampak Manusia dan Alam?




Kebutuhan Air bersih dalam kehidupan sehari-hari sangatlah penting. Oleh karena itu, pengelolaan air bersih di Indonesia sudah diatur dalam Undang-undang Republik Indonesia nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air.

Namun demikian, hingga saat ini masih banyak yang belum menikmati fasilitas air bersih tersebut.

Selain Indonesia, berdasarkan data WHO (2000), diperkirakan terdapat lebih miliaran manusia setiap harinya terkena dampak kekurangan air lebih dari 40 negara di dunia. Dari jumlah tersebut, 1,1 miliar tidak mendapatkan air yang memadai dan 2,4 miliar lainnya tidak mendapatkan sanitasi yang layak.

Akibatnya, diperkirakan pada tahun 2050 diprediksikan 1 dari 4 orang akan terkena dampak dari kekurangan air bersih (Gardner-Outlaw and Engelman, 1997 dalam UN, 2003).

Di Indonesia sendiri, dengan jumlah penduduk mencapai lebih 200 juta jiwa, kebutuhan air bersih menjadi semakin mendesak. Kecenderungan konsumsi air diperkirakan terus naik hingga 15-35 persen per kapita per tahun.

Sementara ketersediaan air bersih cenderung melambat (berkurang) akibat kerusakan alam dan pencemaran lingkungan. Sekitar 119 juta jiwa (rakyat Indonesia) belum memiliki akses terhadap air bersih (Suara Pembaruan – 23 Maret 2007).

Penduduk Indonesia yang bisa mengakses air bersih untuk kebutuhan sehari-hari, diketahui baru mencapai 20 persen dari total penduduk Indonesia. Itupun yang dominan adalah akses untuk perkotaaan. Dengan kata lain, masih ada 82 persen rakyat Indonesia terpaksa mempergunakan air yang tak layak secara kesehatan.


Untuk persentase akses daerah pedesaan terhadap sumber air di Indonesia, lebih rendah daripada beberapa negara tetangga seperti Malaysia.

Di Malaysia, tingkat akses sumber air di pedesaan mencapai 94 persen. Di negara Indonesia yang kaya sumber daya air ini, angka akses pedesaan terhadap air bersih hanya menyentuh level 69 persen,  atau lebih rendah dari Vietnam yang telah mencapai 72 persen.

Pada akhir tahun 2019 diperkirakan jumlah penduduk perkotaan mencapai 150,2 juta jiwa dengan konsumsi per kapita sebesar 125 liter, sehingga kebutuhan air akan mencapai 18,775 miliar liter per hari.

Berdasarkan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), kebutuhan air untuk industri akan melonjak sebesar 700 perseb pada tahun 2025 mendatang. Sementara untuk perumahan dipastikan akan naik rata-rata 65 persen dan untuk produksi pangan naik 100 persen.

Sehingga, pada tahun 2000 untuk berbagai keperluan di Pulau Jawa diperlukan setidaknya 83,378 miliar meter kubik air bersih.

Sedangkan potensi ketersediaan air, baik air tanah maupun air permukaan hanya 30,569 miliar meter kubik.

Sehingga pada tahun 2015 krisis air di Pulau Jawa akan jauh lebih parah karena diperkirakan kebutuhan air akan melonjak menjadi 164,671 miliar meter kubik. Sedangkan potensi ketersediaannya cenderung menurun.

Di daerah perkotaan seperti Jakarta saja, masih banyak warga yang belum mendapatkan fasilitas air bersih. Jakarta dialiri 13 sungai, terletak di dataran rendah dan berbatasan langsung dengan Laut Jawa.

Seiring dengan pertumbuhan penduduk Jakarta yang sangat pesat, berkisar hampir 9 juta jiwa, maka penyediaan air bersih menjadi permasalahan yang rumit. Dengan asumsi tingkat konsumsi maksimal 175 liter per orang, dibutuhkan 1,5 juta meter kubik air dalam satu hari.

Neraca Lingkungan Hidup Daerah Provinsi DKI Jakarta tahun 2003 menunjukkan, Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) diperkirakan baru mampu menyuplai sekitar 52,13 persen kebutuhan air bersih untuk warga Jakarta. (Kompas, 20 Juni 2005).

Penyebab Kelangkaan Air Bersih

1. Perilaku Manusia

Kodoatie dalam bukunya yang berjudul Pengelolaan Sumber Daya Air Terpadu mengungkapkan, bahwa faktor utama krisis air adalah perilaku manusia guna mencukupi kebutuhan hidup yaitu perubahan tata guna lahan untuk keperluan mencari nafkah dan tempat tinggal.

Sebagian besar masyarakat Indonesia, menyediakan air minum secara mandiri, tetapi tidak tersedia cukup informasi tepat guna hal hal yang terkait dengan persoalan air, terutama tentang konservasi dan pentingnya menggunakan air secara bijak.

Masyarakat masih menganggap air sebagai benda sosial. Masyarakat pada umumnya tidak memahami prinsip perlindungan sumber air minum tingkat rumah tangga, maupun untuk skala lingkungan. Sedangkan sumber air baku (sungai), difungsikan berbagai macam kegiatan sehari hari, termasuk digunakan untuk mandi, cuci dan pembuangan kotoran/sampah.

Sebagian masyarakat masih menganggap bahwa air hanya urusan pemerintah atau PDAM saja, sehingga tidak tergerak untuk mengatasi masalah air minum secara bersama. Populasi yang terus bertambah dan sebaran penduduk yang tidak merata.

Pemanfaatan sumberdaya air bagi kebutuhan umat manusia semakin hari semakin meningkat. Hal ini seirama dengan pesatnya pertumbuhan penduduk di dunia, yang memberikan konsekuensi logis terhadap upaya-upaya pemenuhan kebutuhan hidupnya.

Disatu sisi kebutuhan akan sumberdaya air semakin meningkat pesat dan disisi lain kerusakan dan pencemaran sumberdaya air semakin meningkat pula sebagai implikasi industrialisasi dan pertumbuhan populasi yang tidak disertai dengan penyebaran yang merata sehingga menyebabkan masih tingginya jumlah orang yang belum terlayani fasilitas air bersih dan sanitasi dasar.

Selain itu meningkatnya jumlah populasi juga berdampak pada sanitasi yang buruk yang akan berpengaruh besar pada kualitas air. Sekitar 60 rumah di Jakarta memiliki sumur yang berjarak kurang dari 10 meter dari septic tank.

Jumlah septic tank di Jakarta lebih dari satu juta. Melimpahnya jumlah septic tank yang terus bertambah tanpa ada regulasi yang baik mengakibatkan pencemaran air tanah dan membahayakan jutaan penduduk.

2. Penggundulan Hutan
Kerusakan lingkungan yang makin parah akibat penggundulan hutan merupakan penyebab utama kekeringan dan kelangkaan air bersih. Kawasan hutan yang selama ini menjadi daerah tangkapan air (catchment area) telah rusak karena penebangan liar.

Laju kerusakan di semua wilayah sumber air semakin cepat, baik karena penggundulan di hulu maupun pencemaran di sepanjang DAS. Kondisi itu akan mengancam fungsi dan potensi wilayah sumber air sebagai penyedia air bersih.

Berdasarkan data di Departemen Kehutanan hingga tahun 2000 saja diketahui luas lahan kritis yang mengalami kerusakan parah di seluruh Indonesia mencapai 7.956.611 hektare (ha) untuk kawasan hutan dan 14.591.359 ha lahan di luar kawasan hutan.

Sedangkan pada tahun yang sama rehabilitasi atau penanaman kembali yang dilakukan pemerintah hanya mampu menjangkau 12.952 ha kawasan hutan dan 326.973 ha di luar kawasan hutan.



3. Global Warming
Pemanasan global telah memicu peningkatan suhu bumi yang mengakibatkan melelehnya es di gunung dan kutub, berkurangnya ketersediaan air, naiknya permukaan air laut dan dampak buruk lainnya.

Seiring dengan semakin panasnya permukaan bumi, tanah tempat di mana air berada juga akan cepat mengalami penguapan untuk mempertahankan siklus hidrologi. Air permukaan juga mengalami penguapan semakin cepat sedangkan balok-balok salju yang dibutuhkan untuk pengisian kembali persediaan air tawar justru semakin sedikit dan kecil.

Ketika salju mencair tidak menurut musimnya yang benar, maka yang terjadi bukanlah salju mencair dan mengisi air ke danau, salju justru akan mengalami penguapan. Danau-danau itu sendiri akan menghadapi masalahnya sendiri ketika airnya tidak lagi membeku.

Air akan mengalami penguapan yang jauh lebih lambat ketika permukaannya tertutup es, sehingga ada lebih banyak air yang tersisa dan meresap ke dalam tanah. Ketika terjadi pembekuan yang lebih sedikit, artinya semakin banyak air yang dilepaskan ke atmosfir.

Maka, ketika gletser yang tersisa dari zaman es mencair semua, sungai-sungai akan kehilangan sumber air.

4. Pencemaran Air
Saat ini pencemaran air sungai, danau dan air bawah tanah meningkat dengan pesat. Sumber pencemaran yang sangat besar berasal dari manusia, dengan jumlah 2 milyar ton sampah per hari, dan diikuti kemudian dengan sektor industri dan perstisida dan penyuburan pada pertanian (Unesco, 2003).

Sehingga memunculkan prediksi bahwa separuh dari populasi di dunia akan mengalami pencemaran sumber-sumber perairan dan juga penyakit berkaitan dengannya.

Hilman Masnellyarti, Deputi Bidang Peningkatan Konservasi Sumber Daya Alam dan Pengendalian Kerusakan Lingkungan Kementerian Negara Lingkungan Hidup mengungkapkan bahwa kelangkaan air bersih disebabkan pula oleh pencemaran limbah di sungai.

Diperkirakan, 60 persen sungai di Indonesia, terutama di Sumatera, Jawa, Bali, dan Sulawesi, tercemar berbagai limbah, mulai dari bahan organik hingga bakteri coliform dan fecal coli penyebab diare.

Sungai-sungai di Pulau Jawa umumnya berada pada kondisi memprihatinkan akibat pencemaran limbah industri dan limbah domestik. Padahal sebagian besar sungai itu merupakan sumber air bagi masyarakat, untuk keperluan mandi, cuci, serta sumber baku air minum olahan (PAM).

5. Manajemen Pengelolaan Air yang Kurang Baik

Departemen Pekerjaan Umum bertanggung jawab terhadap infrastruktur air, Departemen Dalam Negeri mengurusi pentarifan air, Departemen Kehutanan bertanggung jawab terhadap konservasi sumber daya air, sedangkan masalah kualitas air oleh Departemen Kesehatan.

Banyaknya institusi yang terlibat dan tumpang-tindihnya pengambilan kebijakan tentang air oleh berbagai departemen yang ada ditambah lagi dengan kurangnya koordinasi antara institusi tersebut menyebabkan kegagalan program pembangunan Indonesia di sektor air.

Anggaran yang tidak mencukupi, menurut Depkes, selama 30 tahun terakhir, anggaran yang dialokasikan untuk perbaikan sanitasi (termasuk penyediaan air bersih) hanya sekitar 820 juta dolar AS atau setara Rp 200 per orang per tahun.

Padahal kebutuhannya mencapai Rp 470 per rupiah per tahun. Versi Bank Pembangunan Asia perlu RP 50 triliun untuk mencapai target MDGs 2015 dengan 72,5% penduduk akan terlayani oleh fasilitas air bersih dan sanitasi dasar.

Dalam APBN tahun 2008, anggaran untuk sanitasi itu hanya 1/214 dari anggaran subsidi BBM. Dari anggaran tersebut terlihat pemerintah belum melihat anggaran untuk perbaikan sanitasi sebagai investasi tetapi mereka melihatnya sebagai biaya.

Padahal menurut perhitungan WHO dan sejumlah lembaga lain setiap US$ 1 investasi di sanitasi dan air bersih akan memberikan manfaat ekonomi sebesar US$ 8 dalam bentuk peningkatan produktivitas dan waktu, berkurangnya angka kasus penyakit dan kematian. (*/berbagai sumber)


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Sensasi 'Tak Mau Cek-Out' Landa Tamu Hotel Best Western Premier Panbil Batam Hotel

Akhir pekan menjadi momen yang tepat untuk 'mengasingkan' diri dari keramaian kota. Banyak di antaranya memilih untuk ref...