Banyaknya aktivitas masyarakat di kawasan resapan air, menjadi catatan penting bagi Pemerintah untuk menertibkannya.
Mengingat ‘tragedi’ yang terjadi pada Waduk Baloi ini, kiranya jangan sampai dialami oleh waduk lainnya.
Sejak dibangun pada tahun 1977 oleh Otorita Batam, Waduk Baloi memiliki kapasitas sebanyak 30 liter per detik dan melayani pelanggan ATB di kawasan Pelita, Jodoh, Nagoya dan sekitarnya.
Namun, waduk ini akhirnya ditutup pengoperasinya akibat kondisi air baku yang sudah tidak ekonomis untuk diolah menjadi air bersih dan berubah menjadi Septic Tank massal yang berasal dari rumah liar dan banyak ditumbuhi enceng gondok.
Ironisnya kondisi tersebut juga sudah mulai dialami oleh beberapa waduk lainnya yang dimiliki oleh BP Batam.
Selain oleh limbah rumah tangga, alih fungsi lahan sekitar waduk untuk perumahan juga menjadi penyebab menurunnya kapasitas waduk.
President Director ATB, Ir Benny Andrianto MM pernah mengingatkan bahwa ATB tidak dapat melakukan pengembangan bila tidak ada penambahan air baku.
Dan sehebat-hebatnya ATB dalam mengelola air, tidak akan bertahan tanpa adanya air baku.
Oleh karena itu, sebuah tantangan yang sangat besar bakal dialami Batam dalam hal ketersediaan air bersih. Dan semuanya kembali kepada Pemerintah.
Pemerintah harus lebih bijak lagi dalam hal pengawasan terhadap pembangunan rumah liar, kerambah dan peternakan, serta pengaturan alokasi lahan dan mekanisme pembuangan limbah juga perlu diperhatikan agar waduk tidak terkontaminasi oleh zat-zat yang berbahaya, yang pada akhirnya menurunkan kualitas dan kapasitas waduk.(*)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar